Pendakian G. Dempo Lewat Rimau

•13 April 2013 • 1 Komentar

***

G Dempo

Alhamdulillah…..sudah sampai di Puncak Gunung Terindah di atap Sumatera Selatan, G. Dempo 3.189 m dpal lewat Jalur Rimau

Perjalanan ke Plateau Berkabut (1): Telaga Merdada

•14 September 2012 • 2 Komentar

Perjalanan ini sudah cukup lama, lebih dari setahun yang lalu. Tapi saya seneng aja kalo mengingat & ingin menulisnya di blog ini.

***

Awal February 2011 saya maen ke Dieng Plateau. Dieng Plateau ini terletak di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah dan merupakan plateau tertinggi kedua di Dunia (2000 m dpal). Banyak obyek wisata menarik disini, mulai dari gunung, kawah, telaga dan setahun sekali ada Dieng Festival.

Dari awal, tujuan utama kita ke Dieng adalah mau ke Gunung Sikunir. Kabarnya di Sikunir ini kita bisa melihat double sunrise yang  indah banget. Sebab dari puncak Sikunir kita bisa melihat deretan gunung-gunung mulai dari Gunung Merapi, G. Merbabu, G. Sindoro dan G. Sumbing. Double sunrise adalah sebutan dimana matahari terbit membentuk pola cahaya yang indah diantara gunung-gunung itu.

Kalo dari Jogja, Dieng berjarak sekitar 70 km. Naik motor bisa, tapi mending naik angkutan aja. Kalau naik angkutan, ketika capek kan bisa tidur, tapi kalo naik motor kalo capek…..wah bahaya tuh?! Perjalanan menggunakan bis dari Jogja ke Wonosobo harus berganti sebanyak 3x. Pertama dari Jogja sampai terminal Magelang. Setelah itu berganti bis ke Wonosobo Kota. Dari Wonosobo kota berganti bis lagi naik ke Dieng.

Saya dan teman saya berangkat dari Jogja jam 14.30. Segala perlengkapan ‘perang’ sudah disiapkan. Baju hangat, senter bahkan tenda kami bawa, buat camping di Sikunir. Perjalanan diwarnai dengan terkantuk-kantuk, rasanya  perjalanan lama banget, apalagi dari Magelang ke Wonosobo. Di perjalanan masih ngarep nyampe Sikunir buat ngedapetin sunset disana.

Akhirnya kita nyampe Wonosobo kota sekitar jam 7 malam. Dan sampai disana hujan turun derass!! ..o…o…. Dan guess what? Angkutan ke Dieng udah nggak ada! Angkutan ke Dieng terakhir jam 6 sore. Aku sama temenku haha hihi aja…wah…bakalan seru nih perjalanan! 😀

Aku dan temenku tetep nyari info ada nggak ya angkutan lain ke Dieng. Bagaimanapun kalau bisa sih bermalam di Dieng dan pagi-pagi naik ke sikunir. Beberapa orang ngasih opsi ojek buat kesana. Ada seorang yang ngasih info kalo di dekat rutan biasanya ada angkutan ke Dieng. Yo wis akhirnya kita menembus hujan, nyari RUTAN. Tiap ketemu orang di jalan nanya “RUTAN nya dimana ya Pak/Bu?” Geli juga kalo inget ada 2 orang perempuan manis, hujan2 nyari RUTAN…hehe..

Singkat kata akhirnya sesampainya di RUTAN, ternyata tempat angkutan masih berjalan sekitar 300 m dan angkutan yang ada nggak sampai Dieng, tapi cuman sampai Garung. Garung masih jauh dari Dieng. Wah…sami mawon, bisa-bisa malah tambah nggak jelas nasibnya di Garung. Ya…udah deh akhirnya kita memutuskan untuk menginap di Wonosobo Kota. Lagi pula hari hujan, rasanya nggak bisa ngejar sunrise juga.

Telaga Merdada

Jalan ke Telaga Merdada

Jalan ke Telaga Merdada

Pagi-pagi saat adzan subuh berkumandang kita memulai perjalanan ke Dieng dengan Angkot terpagi. Perjalanan naik membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Di perjalanan hawa dingin sesekali masuk. Brrr…. o,iya di bis kami duduk samping pak sopir, dan pak sopir itu memberi nasehat: biasanya orang gunung untuk mengatasi udara dingin kakinya dibungkus pake plastik/tas kresek. *aha*….. iya juga ya, aku jadi ingat kalau bagian tubuh manusia yang pertama kali merasa dingin adalah kaki, lalu setelah itu akan menjalar ke bagian tubuh lainnya. Wah makasih pak! lain kali kalau ke daerah yg dingin aku akan ingat2 soal ini.

Karena sunrise Sikunir udah lewat kita ke Telaga Merdada dulu. Telaga Merdada ini letaknya ujung Barat dari Kawasan Dieng. Bis berhenti di jalan raya. Untuk sampai ke Telaga Merdada kita harus berjalan kaki sejauh 1 km.

Di jalan menuju Telaga Merdada ada sebuah Sekolah Dasar. Kami berhenti sejenak buat merapikan barang-barang dan mengeluarkan persenjataan (pakai jaket, jas hujan, sarung tangan, slayer, pake plester hidung). Udaranya dingin sekali dan jalan menuju ke sana berkabut.

Jalan menuju telaga merdada sedikit menanjak, di kanan kiri jalan banyak tanaman sayur-sayuran. Sesekali ada angkutan yg membawa sayur-sayuran lewat. Tak berapa lama akhirnya kami sampai di Telaga Merdada. Telaga merdada ini seperti semacam danau yang indah sekali. Di tepi danau ada rakit dari bambu yang tertambat. Dan ada juga sebuah perahu. Saya duduk di rakit itu dan mengeluarkan roti buat sarapan pagi sambil menikmati pemandangan pagi di Telaga Merdada. Sejenak saya teringat sesuatu. Waktu saya masih kecil saya sering banget baca buku-buku dongeng. Di cerita-cerita itu kalau putri raja atau permaisuri mereka pergi ke daerah lain menggunakan rakit, dengan membawa setandan pisang. wkwkwk…. *masih inget juga khayalan masa kecil*

Telaga Merdada Masih Berkabut

Telaga Merdada Masih Berkabut

Setelah puas di Telaga Merdada, kami akhirnya melanjutkan perjalanan ke…. Sikunir. bersambung ke tulisan Perjalanan ke Plateau Berkabut (2): Telaga Warna & Gunung Sikunir

Perjalanan ke Plateau Berkabut (2): Telaga Warna & Gunung Sikunir

•14 September 2012 • 12 Komentar

Tulisan ini lanjutan dari tulisan Perjalanan ke Plateau Berkabut (1): Telaga Merdada.

Dari Telaga Merdada ke Pertigaan Dieng bisa ditempuh menggunakan bis. Sebenarnya banyak obyek wisata menarik di kawasan dieng ini. Untuk telaga aja ada Telaga Merdada, Telaga Balekambang, Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Telaga Cebong. Sedangkan untuk Kawah ada Kawah Sikidang, Kawah Sileri, Kawah Candradimuka. Kalau suka Candi disini ada Candi Arjuno.Obyek wisata lain ada Air Terjun Sikarim, Sumur Jolotundo, Tuk Bimo Lukar, dan Gunung Sikunir. Wah rasanya sehari nggak bakalan cukup deh buat eksplore semuanya.

Dalam bis saya mengamati penduduk lokal Dieng. Hampir semua orang disini memakai baju yang tebal. Anak anak dan bapak-bapak memakai kupluk, dan ibu-ibu sampai nenek-nenek berkerudung. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana manusia beradaptasi dengan alam. Kelak saya menemukan pola yang sama ketika saya pergi ke Bandung dan melihat hasil karya manusia yang tinggal di daerah beiklim dingin.

Kami turun di pertigaan Dieng, sebuah tempat yang ada baliho besar menunjukkan peta wisata kawasan Dieng. Dari sini kalau ke selatan kita akan sampai ke Telaga Warna, Telaga Pengilon, Gunung Sikunir dan ada air terjun Sikarim. Wah tadinya sih kami mau mendatangi semuanya. Tapi ternyata tempatnya jauh. Tidak sedekat di peta hehe..:D

Perjalanan pertama kami adalah ke Sikunir. Hari masih berkabut meski mentari sudah beranjak siang. Waktu naik ke Sikunir pun warna masih putih thok, meski jarak pandang masih normal. Tapi nggak tau juga sih kalo sebelah kiri ada jurang, wkwkwk…

Pemandangan berkabut dari Puncak G. Sikunir Dieng

Pemandangan berkabut dari Puncak G. Sikunir Dieng

Dari Sikunir kami pulang, tapi sebelumnya mampir dulu ke Telaga Warna. I tell u guys…., Telaga Warna adalah tempat yang HARUS didatangi kalo ke Dieng. Soalnya tempatnya bagus banget. O iya kalo ke Telaga warna saya saranin naik dulu ke Bukit di sebelah Utara Telaga Warna. Dari bukit itu kita bisa melihat keindahan Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas. Dinamai Telaga Warna karena warna air disini hijau karena adanya plankton yang menyebabkan airnya berwarna hijau.

Telaga Warna Dieng

Telaga Warna Dieng

Di telaga warna kami nggak bisa lama-lama, karena…. kalau kemalaman, angkutan dari Magelang ke Jogja udah nggak ada 😀

Perjalanan pulang rutenya sama seperti perjalanan naik (ya iyalaah). Dari dieng ke wonosobo kota dulu. Pas kemaren naik dari Wonosobo ke Dieng waktu tempuhnya 1,5 jam, coba tebak berapa waktu tempuh pas turun? … Ternyata cuman SETENGAH JAM sodara-sodara, dengan bis berkecepatan aduhai.. Ngebut gitulah. Padahal tau sendiri medan dieng kayak gimana, qiqiqiqi…:D

O, iya kalo ke Wonosobo jangan lupa makan Mie Ongklok. Mie ongklok ini khas daerah wonosobo. Mie ini rada kental gitu. Kalau saya ditanya enak enggak tentu saya jawab enak. Tapi sobatku seperjalanan ini nggak terlalu suka. Selain Mie ongklok ada juga Carica, sejenis minuman buah yang juga cuman ada disini.

Mie Ongklok Wonosobo

Mie Ongklok Wonosobo

Dengan habisnya Mie Ongklok berakhir pula petualangan di Dieng. Jam 2 lebih kami cabut ke Terminal untuk melanjutkan perjalanan ke Magelang.Dari magelang langsung ke Jogja. Magrib baru sampai Jogja.

***

Refleksi:

Perjalanan ke Dieng ini berkesan buat saya, karena perjalanan ini mengajarkan sesuatu. Sebelum ke dieng kita merencanakan mau sesampainya di Dieng mau ke mana saja dengan segala estimasi waktunya. Tetapi siapa yang menyangka kalau sore itu hujan turun dengan deras sehingga kita nggak sampai bermalam di Dieng ataupun melihat sunrise di Sikunir. Bahkan ketika sampai di sikunirpun, langit berkabut dan tak satupun pemandangan terlihat dari puncaknya.

Kami merencanakan mau ke Obyek wisata A, B, C, D tetapi ternyata waktunya nggak cukup, dan karena itu kita harus memilih obyek yang “penting-penting saja.”

Sama halnya dengan perjalanan hidup ini. Terkadan kita sudah merencanakan A, B,C, D. Tetapi jangan lupa Allah juga punya rencana. Dan kita-pun harus menyesuaikan rencana-rencana kita dengan Rencana-nya. Saya menemui di berbagai perjalanan travelling saya. Tak ada satupun yang bener2 pas sesuai rencana. Ada cerita tentang kehabisan tiket, jadwal maju, dan lain sebagaunya. Atau ada juga track bonus seperti di Wediombo. Rencananya cuman mau ke 2 pantai eh jadinya malah ke 5 pantai 😀

Rencana akan memberi kita arah. Tetapi bersiaplah untuk segala kemungkinan dan perubahan. Tak semudah ketika dijalani. Tetapi memerlukan keikhlasan untuk menerima. Ah…perjalanan ini, tepat sekali.

Palasari: Surganya Pecinta Buku

•9 Januari 2012 • 11 Komentar

Saya dengar kabar kabur kalau palasari adalah pasar buku terbesar dan terlengkap di Bandung. Sebagai pecinta buku pasti dong saya jadi penasaran: O ya? kayak apa sih? Akhirnya kemaren saya sempetin juga ke palasari. Siapa tau buku yang saya cari-cari ada disini. Palasari ini letaknya agak ke timur dari kota Bandung.

Sampai di Palasari, dari jalan tampak kios buku yang berderet-deret. Sepintas mirip banget kayak Terban Jogja, hampir saya merasa saya ada di terban 😀 O, iya terban adalah kios-kios buku yang ada di Jogja selain Shopping Centre.

Saya masuk lewat gerbang yang ada tulisan “Pasar Tradisional Palasari”, mulai eksplore-nya dari belakang. Di deretan belakang rata-rata tidak menjual buku, tetapi menerima pesanan cetak buku yasin dan maj’mu. Saya tanya harganya sekitar 17 ribu – 35 ribu tergantung jenisnya. Ada sebuah buku yasin lipat yang kecil, bagus bgt, sayangnya satu: nggak bisa ditawar!

Lanjut saya menyusuri lorong-lorong pasar palasari, saya menemukan sebuah kios buku yang menurut saya paling lengkap se-palasari: namanya Bandung Book Centre. Kios ini ukurannya besar, ada 2 lantai. Buku-buku ditumpuk/disusun dengan menarik. Sepertinya dari lantai sampai atap isinya adalah tumpukan buku. Coba deh lihat:

Tumpukan buku di BBC Palasari

Tumpukan buku di BBC Palasari

Wuahhh….rasanya saya bakalan betah deh melototin satu-satu buku-buku disini, hehe…. Udah gitu diskonnya lumayan gede sekitar 20-30% tergantung penerbitnya. Seperti halnya di toko buku, buku-buku disini sudah dikelompokkan menurut jenisnya: agama, pendidikan, biografi…dll. dan kalau males nyarinya satu-satu, bisa minta dicarikan di database computer.

Sayang buku yang saya cari: ‘A Whole New Mind’ nya Daniel Pink stocknya habis 😦

Musti manjat buat ngambil buku

Musti manjat buat ngambil buku

Keluar dari toko buku ini saya kembali meyusuri lorong-lorong pasar, mencari sesuatu yang mencuri perhatian. Pedagang disini ada juga yang sudah menerapkan diferensiasi: ada yang khusus menjual buku lawas, ada yang khusus menjual buku sekolah, ada juga yang khusus hanya menjual komik bekas 😀 untuk komik harganya rada mahal ya sekitar 5000, tapi yang namanya komik bekas, adanya cabutan, nggak ada yang satu seri lengkap.

Kalo boleh dikata, Palasari Bandung ini mirip kayak Shopping Centre Jogja. Kalo di Jogja, meski bisa ditawar tapi saya jarang banget ke Shopping. Alesannya ogah musti keliling dan nanya satu per satu dari satu kios ke kios lainnya. Kalaupun berkeliling saya pasti sudah nyiapin sobekan kertas bertuliskan judul buku beserta nama penerbit dan pengarangnya. Jadi nanti penjualnya tinggal baca aja. Praktis dan hemat energi.

Kalo di Palasari yang bikin menarik dan berasa lengkap adalah BBC (Bandung Book Centre) tadi, apalagi dengan diskon yang lumayan banget. Selain itu BBC meski kios di pasar tapi sudah modern, ada database bukunya, pegawainya yang bisa mbantuin nyari buku, juga pembayaran pake debet. Hmm….mungkin kalo teman-teman deadlock, nyari buku nggak ketemu-ketemu coba aja ke BBC Palasari. Bukan promosi loh?! 😀

Nonton Karapan Sapi

•20 Desember 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar


23 . 07 . 2011

Pagi itu kita ngebut dari Pacet Mojokerto, membelah kota Sidoarjo menuju Surabaya. Tujuannya tak lain tak bukan adalah mau nonton karapan sapi di Ken Park, Surabaya. Dari info yang aku dapetin di internet karapan sapi ini mulainya jam 11.00 mangkanya kita ngebut naik motornya.

Nyampe kenjeran sekitar jam 11…dan ternyata oh ternyata…karapan sapinya mulainya jam 09.00 dan berakhir jam 11.00.  Yahh telat dehh…tapi untungnya masih bisa nonton satu kali lari 😀

Sahabat Pena

•10 Oktober 2011 • 4 Komentar

“Sahabat Pena? Apa kamu punya?”

Saya baca sebuah blog dan ada artikel tentang anak-anak SD di Bandung yang saling mengirim surat dengan anak-anak SD di Sulawesi alias Sahabatan Pena gitu. Hehe…rada geli juga sih, lha di jaman gini ternyata masih ada juga yg sahabatan pena.

Saya jadi inget, duluu banget saya juga suka sahabatan pena. Pertama kali nulis surat kelas 2 SD. Namanya Nurul anak Bogor. Saya tahu alamatnya dari Majalah Bobo. Eh….trus dibales sama nurul. Tapi ternyata saking senengnya dapet surat saya sampe lupa ngebalesnya.

Waktu kelas 4 SD, saya iseng-iseng ngirim TTS Bobo. Eh…nggak taunya menang! : D trus nama dan alamat saya muncul di Majalah Bobo. Sejak saat itu saya banyak dapet surat dari temen-temen di berbagai daerah. Seneng deh rasanya.

Hobby nulis surat itu akhirnya berlanjut pas SMP dan SMA. Waktu itu saya sekolahnya jauh dari temen2 SD saya. Jadi untuk menyambung silaturahmi ya lewat surat *kalo yang ini masih masuk kategori sahabat pena gak ya??*

Surat dari sahabat pena *masih tersimpan rapi*

Surat dari sahabat pena *masih tersimpan rapi*

Dari hobby sahabatan pena itu akhirnya bikin saya jadi punya hobby lain yaitu koleksi perangko plus mondar-mandir kantor pos, lihat update-an perangko terbaru. Juga koleksi kertas surat. Kadang kertas suratnya nggak beli tapi bikin sendiri. Kalo lebaran paling seneng soalnya panen kartu ucapan, hehe…

Serunya punya sahabat pena itu karena kita saling berbagi cerita, pengalaman-pengalaman kita, nyeritain gimana guru-guru kita, hobby, sampai hasil ujian sekolah. Dan saya merasa kemampuan menulis yang saya miliki banyak berasal dari hobby saya itu. Selain itu persahabatan dengan teman dari daerah lain banyak membuka wawasan kita.

Satu lagi saya jadi punya macem-macem gaya tulisan. Ada yang model hurufnya kotak, ada yg model gede kecil gitu, de el el. Juga suka eksplorasi tanda tangan. Iya waktu itu seneng aja plus lagi nyari-nyari tanda tangan yg pass (nggak heran di ijazah SD, SMP, SMA tanda tanganku beda semua (_ _!!)

***

Seiring waktu dari sekian banyak teman itu akhirnya yang bertahan hanya beberapa orang. Yang saya masih inget ada Asni dari Sulawesi Selatan, Shinta dari Situbondo dan Dewi dari Malang. Dengan Dewi saya yang paling awet. Bayangin aja saya sahabatan pena dengannya dari tahun saya SD sampe terakhir nulis surat tahun pas saya masuk kuliah (berapa tahun tuh?)

Saat kuliah udah nggak ada lagi sahabatan pena, karena teknologi juga udah semakin maju. Ada email yang menggantikan fungsi surat. Murah lagi! (lha wong aku sama temen sekampus yg tiap hari ketemu aja email-emailan kok, hehe…).

Dengan teknologi yang semakin berkembang rasanya sudah jarang orang yang masih punya sahabat pena. Apalagi sekarang sudah ada email, sms, fb, dll. Tapi tetep aja rasanya beda. Nulis surat kan panjang ya, jadi ceritanya juga puanjaangg…. (apalagi tebel tipis ongkos perangko sama, rugi dong kalo cuman nulis dikit, wakaka….^^)

Dengan Sinta dan Dewi akhirnya saya ketemu mereka lagi di fb. Dewi masih tinggal di Malang. Kalo Shinta sekarang di Jakarta. Sayangnya sampai sekarang kami belum pernah ketemu muka. Padahal udah temenan 20 tahun! 😀 ..Semoga ya ada umur dan rezeki jadi suatu saat bisa silaturrahmi.

Pendakian Sindoro dan Evaporasi, Evapotranspirasi (2): Lost!

•16 September 2011 • 3 Komentar

*Melanjutkan tulisan Pendakian Sindoro dan Evaporasi, Evapotranspirasi (1). Maap baru sekarang sempet ngelanjutin*

Gunung Sindoro mempunyai beberapa puncak bayangan. Puncak yang kalau dari bawah kita kira puncak, setelah didatangi ternyata bukan puncak gunung sebenarnya. Bahkan kita akan melihat puncak lain yang ternyata masih jauuhh. Awalnya saya dan teman saya cuman terpisah beberapa meter. Terkadang saling teriak wooooiii”. Oh…orangnya masih ada. O, iya pas kami mendaki itu tidak ada orang lain yang juga mendaki. Baru ketika turun banyak pendaki yg mulai naik. Di tengah jalan saya bertemu 3 orang pendaki yang turun, salah satunya bule. Seorang pemandu, dan satu orang porter. Seperti biasa, ketika ketemu sesama pendaki akan berhenti sebentar buat saling bertanya.

“Dari mana? Berapa orang? ” —> Pertanyaan standard.

“Dari Jogja. Dua orang”, jawabku.

“O…sama yang tadi ya? Temennya sekarang udah nyampe watu tatah. Tadi pesen kalo ketemu temennya, katanya ditunggu di puncak”

Ok. Thanks infonya. Cuman bentar ngobrolnya.

Jalur pendakian adalah jalan air di waktu hujan. Kecil, sempit dan penuh batuan. Semakin naik semakin terjal dan curam. Terkadang ada persimpangan jalan. Sesekali angin lembah berhembus membawa uap air naik dan semua terlihat putih. Wah kalo dari jauh pasti kelihatannya ada diantara awan :P.

Tanjakan di Lereng Sindoro

Tanjakan di Lereng Sindoro

Tetapi lama kelamaan ketika saya berteriak mencari teman saya kok nggak ada jawaban ya?! Sudah teriak berkali-kali tapi tetep aja nggak ada jawaban. Jarak kami pasti sudah jauh sekarang. Atau saya tersesat?? HAH??…OMG…

Ya tadi memang ada persimpangan. Apa saya salah pilih jalan ya?? Berbagai analisa ada di kepala. Wah nggak kebayang deh rasanya. Ada di ketinggian 3000 m dpal…dan SENDIRIAN!!. Di handphone nggak ada sinyal. GPS juga nggak bisa. Waduh gimana nich?

Waktu itu ada 2 pilihan, mau turun atau lanjut naik. Jarak turun jauh. Naik juga jauh. Tetapi saya teringat kata-kata pendaki yang sama bule tadi “ditunggu temannya di puncak”. Gimana kalo temen saya nunggu saya di puncak dan saya malah turun ke bawah? Oke, saya pegang ucapannya. Karena kata-kata seorang muslim, (seharusnya) adalah benar dan bisa dipercaya. Saya akhirnya naik, lagian nanggung juga, wong udah nyampe sejauh ini.

Ketika saya naik, rasanya kok jalan yang saya tempuh menuju ke barat ya? Saya hanya khawatir tersesat. Waktu itu di sekitar jalur pendakian adalah padang sabana yang luas. Sempat terpikir untuk memotong jalur dengan melewati rumput2 kering yg roboh itu. Baru beberapa meter langsung saya urungkan. Menginjak rumput? hohoho….siapa yang tahu kalo dalamnya ada lubang atau tidak? Adalah lebih baik tidak usah membuat kreativitas dan inovasi disini, hehehe… Yah akhirnya saya kembali menyusuri batu batuan yang terjal itu.

Hiburan menuju puncak adalah tanaman edelweis. Sayangnya lagi nggak berbunga. Edelweis adalah tanaman perintis yang hanya bisa ditemui di sekitar puncak gunung. Bagi saya tanaman edelweis ini terasa istimewa karena untuk sekedar bisa melihatnya saja kita harus melalui pendakian yang melelahkan.

Yang bikin sedikit frustrasi di Sindoro adalah puncak bayangannya yang banyak. Dan saat melihat jalan yang harus dilalui, rasanya kok masih jauuh. Tapi jalani aja, selangkah demi selangkah. Saat letih, berhenti. Berdoa, mohon kekuatan dari-Nya. Menjelang puncak ada beberapa petunjuk jalan *ada anak panah menunjuk puncak sindoro* Uhuiiiii……sbentar lagi nyampe 😀

Akhirnya sampe juga di puncaknya. Rasanya takjub. Subhanallah. Langsung sujud syukur…..Alhamdulillahi Rabb. Lalu saya menuju bibir kawah mati dan teriak, nyari temanku tadi.

wooooiiii“, ada suara balasan. Double lega deh, haha… Alhamdulillah…..

Temenku ada di dasar kawah, dan kalo kami ngobrol terdengar gema dan gaung yang bersahut-sahutan. Lucu rasanya.

Kawah Mati Sindoro

Kawah Mati Sindoro

Selepas sholat dzuhur di puncak, kami turun. Hujan sempat turun, tapi kami lanjut jalan. Sore kami sampai di pos 3. Berkemas-kemas lalu balik menuju base camp.

Refleksi:

Naik Gunung itu……bukan hanya sekedar perjalanan raga, tetapi adalah perjalanan jiwa. Bukan semata-mata soal fisik, tetapi adalah soal mental. Banyak orang bertanya mengapa orang suka berpetualang naik gunung? Itu pertanyaan yang sulit dijawab dengan kata-kata, karena maknanya yang sangat luas. Yah…because it’s there. Karena kata terkadang malah mereduksi makna.

Memikirkan puncak gunung tidak akan membuatmu sampai di puncaknya. Tetapi berjalan selangkah demi selangkah yang akan membawa kita sampai di puncaknya. Begitu halnya jika kita mengejar cita-cita kita. Melangkahlah. Karena langkah-langkah kecil itu yang akan membawa kita ke tujuan.

Gunung Sindoro memang hanya berketinggian 3.153 m dpal. Tetapi jangan lupa: kalau kita berhasil sampai berdiri di puncaknya, semua itu sama sekali bukan karena kehebatan kita…tetapi karena rahmat & kuasa serta rezeki dari-Nya.

Pecel Pincuk Rolak Songo

•24 Juli 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

Sarapan Pecel Pincuk sambil menikmati kesibukan pagi warga Mojokerto – Sidoarjo yang melintasi pintu air Rolak Songo.

Rolak Songo merupakan bendungan yang terletak di perbatasan Mojokerto – Sidoarjo. Bendungan ini mengontrol debit air Sungai Brantas yang kemudian mengalir ke Surabaya dan Sidoarjo.

Sarapan pagi pecel pincuk di sini recomended! Besok kalo ke Mojokerjo kesini lagi deh…hehe…

Pendakian Sindoro dan Evaporasi, Evapotranspirasi (1)

•23 Mei 2011 • 7 Komentar

“Besok pagi ke Sindoro yuk?”

Sabtu pagi itu sebuah sms tiba-tiba nangkring di hp saya. Setelah berpikir sejenak. Tak berapa lama langsung saya reply “oke deh, bsk berangkat jam berapa?”

….

Demikian awal cerita pendakian saya ke Sindoro. Gunung yang berlokasi di perbatasan Temanggung – Wonosobo Jawa Tengah dan memiliki ketinggian 3.153 m dpal.

Hari minggu pagi-pagi saya dan Prapti berangkat dari Jogja. Kami berencana mendaki Sindoro lewat jalur kledung. Perjalanan dari Jogja ke Kledung memakan waktu kurang lebih 3 jam dengan menggunakan bis. Turun di Kledung kami langsung menuju basecamp Sindoro yang berlokasi tak jauh dari jalan raya. Sekilas saya menatap Gunung Sumbing, saudara kembar Sindoro. Ya, Gunung sindoro dan Gunung sumbing sangat berdekatan, hanya terpisah oleh jalan raya.

Saudara Kembar G. Sindoro (G. Sumbing) dari Jalan Raya menuju basecamp Sindoro

Saudara Kembar G. Sindoro (G. Sumbing) dari Jalan Raya menuju basecamp Sindoro

Nggak lama kami di basecamp, mungkin hanya sekitar 30 menit setelah itu langsung memulai pendakian.

Perjalanan pertama dari basecamp kita melewati permukiman.  Setelah itu  ladang penduduk. Tanaman yg dominan di ladang adalah tembakau dan kubis. Jalanan di permukiman dan ladang tidak terlalu menanjak. Di batas akhir ladang ada batu besar dan tikungan. Setelah itu jalanan mulai sedikit menanjak. Jalan dari batas ladang ke pos 1 banyak ditumbuhi pohon-pohon. Menjelang siang kami sampai di pos 1. Pos ini berupa tanah yang agak lapang dan ada tulisan yang penanda. Kami sholat dan istirahat sejenak disini. Setelah beberapa lama, perjalanan dilanjutkan. Dari pos 1 ke pos 2 kita akan melewati 2 punggung gunung. Ada bonus jalan menurun dan ada 2 jembatan kayu. Mulai dari pos 2 ke pos 3 adalah perjuangan. Karena jalannya mulai mendaki. Semakin mendekati pos 3 jalan semakin penuh dengan batu dengan tanjakan-tanjakan yang cukup tinggi.

Sore hari alhamdulillah tenda akhirnya berdiri di pos 3 yang berada di ketinggian 2.530 m dpal. Di depan mata tampak Gunung Sumbing berdiri dengan gagahnya. Hmm….asyiknya. Langsung deh saya buka perbekalan. Sore itu saya makan sereal jagung campur susu.

Ternyata sore itu tak terlalu lama bisa dinikmati. Selepas magrib hujan mulai turun dengan derasnya. langsung deh kita masuk ke tenda dan berharap bisa langsung tidur. Udara sangat dingiin….. saya nggak bisa tidur. Kedinginan. Bolak balik tetep aja nggak bisa tidur, sementara prapti udah bisa tidur dgn pulasnya. Jam 12 malem hujan berhenti. Saya sempat keluar dari tenda sebentar dan subhanallah…..tampak kerlap-kerlip lampu di kaki Gunung Sumbing. Indah sekali. Balik lagi ke tenda lalu zzz…….terbang ke alam minpi..hehe..

Pagi2 kami sudah bersiap-siap untuk mendaki kepuncak. Barang-barang yang memberatkan ditinggal di tenda. Saya sendiri hanya bawa tas yg berisi makanan minuman dan kamera. Jas hujan aja nggak bawa (that’s my mistake).

Perjalanan dari pos 3 ke atas hampir sama beratnya dengan perjalanan dari pos 2 ke pos 3 yg penuh dengan batu-batu. tetapi saya merasa perjalanan pagi itu lebih mudah daripada kemaren. Mungkin karena tidak membawa beban yang berat, juga karena energinya masih baru. Baru beberapa saat berjalan, mentari terbit di ufuk timur. Subhanallah….indah sekali. tak jauh dari sunrise terlihat deretan gunung-gunung: Gunung Merbabu, Gunung Merapi dan tentu saja Gunung Sumbing.

Sunrise dari G. Sindoro. Tampak G. Merbabu, G. Merapi, G. Sumbing

Sunrise dari G. Sindoro. Tampak G. Merbabu, G. Merapi, G. Sumbing

Cukup lama kami menikmati sunrise…sambil foto-foto tentunya (haha….narsis… :tetep: ). Tampak Kota Parakan di sebelah timur tertutup kabut. Wah..pasti udara disana dingin sekarang.

Oke lanjut…. Medan yang terhampar di depan mata masih pepohonan perdu dan lamtoro. Setelah itu pepohonan mulai jarang hanya sesekali, berganti dengan rumput dan batu. Saya menyusuri jalanan pendaki yang juga merupakan jalan air.

Hari mulai beranjak siang. Jalan semakin nanjak. Saya juga makin sering beristirahat (mestinya nggak boleh) sambil melihat pemandangan dari atas. Kabut yang tadinya menutupi Kota Parakan dan wilayah permukiman pelan-pelan mulai naik ke atas dan membentuk awan. Begitu pula dari vegetasi (pohon-pohonan) mulai tampak air yang naik lalu semakin naik dan membentuk awan. Hei…..itu kan Proses Evaporasi. Evaporasi adalah proses naiknya air di permukaan tanah ke udara. Sedangkan Evapotranspirasi adalah proses naiknya air dari tanah dan tumbuh tumbuhan. Dalam daur Hidrologi air yang menguap melalui proses evaropasi dan evapotranspirasi akan naik ke atmosfer menjadi awan. Jumlah air di Bumi ini tetap. Tidak bertambah, juga tidak berkurang. Awan adalah air yang melayang-layang di atmosfer. Awan yang telah megalami titik jenuh akan turun menjadi hujan (lebih tepatnya disebut presipitasi).

Sejenak saya terpana. Di darat proses ini tidak terlihat. Tetapi di ketinggian gunung, kita bisa melihat proses ini dengan sangat jelas. Maha Suci Engkau Yaa Rabb yang telah menciptakan alam ini dengan begitu sempurnanya. Engkau berikan panas, Engkau berikan hujan, dan dari hujan itu ditumbuhkan tanaman juga sebagai air minum. Sungguh manusia yang masih mengeluhkan tentang panas dan hujan adalah manusia yang tidak bersyukur.

“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?”

“Kalau kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?”

QS. Al Waqi’ah 68-70

.

bersambung ke…..Pendakian Sindoro dan Evaporasi, Evapotranspirasi (2): Lost!

Gross National Happiness

•26 April 2010 • 6 Komentar

Saya baru ngerti, Selain GNP, PQLI, HDI, GEM ada indikator lain untuk mengukur Kualitas SDM. Namanya Gross National Happiness (GNH). Pas pertama kali denger, Apaan tuh?…Emang gimana cara mengukur Kebahagiaan??

Waktu kuliah Pembangunan SDM doeloe, saya dikenalkan dengan berbagai indikator untuk mengukur kualitas SDM seperti Gross National Produk (GNP) yang menekankan pada pendapatan per kapita dari suatu negara. Pendekatan ini bisa mengukur pendapatan rata-rata, tetapi tidak bisa digunakan untuk mengetahui distribusi.

Lalu ada Phisical Quality of Life Index (PQLI), Human Development Index (HDI) yang memasukkan unsur Harapan hidup waktu lahir, Angka melek huruf, dan lain sebagainya. Tetapi Gross National Happiness (GNH) yang digunakan untuk Mengukur Kebahagiaan nggak ada pas Kuliah 😛

Pas saya nanya Paman Wikipedia, Ternyata indikator ini cukup “serius juga”, dan diakui! ..O..o..

Paman Wikipedia said, Indikator yang digunakan untuk mengukur Happiness antara lain:

  1. Ekonomi           : Pendapatan Rata-rata, Distribusi Pendapatan
  2. Lingkungan       : Polusi, Kebisingan, Lalu lintas
  3. Fisik                 : Kesehatan Fisik
  4. Mental            :  Penggunaan antidepresan, Penurunan jumlah pasien psikoterapi
  5. Tempat Kerja    : statistika tenaga kerja
  6. Sosial                  : statistik sosial seperti diskriminasi, keselamatan, angka perceraian, kasus hukum keluarga, tuntutan hukum publik, tingkat kejahatan
  7. Politik                : kualitas demokrasi lokal, kebebasan individu, dan konflik asing.

Saya dapet gambar peta persebaran Happiness:

World Map of Happiness

Di peta tersebut …. Indonesia ada di Wilayah Rata-rata! (*…Alhamdulillah….)

Dalam kenyataannya : Benarkah Begitu?… Asumsinya yang digunakan dalam GNH adalah: indikator-indikator itu merupakan standar seorang manusia untuk memperoleh kehidupan yang baik dan layak. Dan pada akhirnya kehidupan yang baik dan layak itu akan menjadikan seorang manusia “merasa” Bahagia. Perlu diingat bahwa Gross National Happiness merupakan indikator yang mengukur secara Global dalam skala suatu negara, bukan skala individu.

Kembali lagi ke Kebahagiaan. In my opinion…. Kebahagiaan itu ada di wilayak afeksi, bukan wilayah kognitif. Kebahagiaan itu ada di Hati. Hanya bisa dirasa. Bukan di dalam pikiran ataupun dalam deretan angka-angka.

Hemmm….Mungkin Sekalian Sensus Penduduk 2010 Petugas BPS bisa sekalian nanyain: Bapak/Ibu Bahagia nggak??

Kamu sendiri Bahagia nggak?

😛 🙂 😀

Image From:http://xantor.webblogg.se/tempusfugit/images/2008/world_map_of_happiness_1203505867_2687600.jpg