Pendakian Sindoro dan Evaporasi, Evapotranspirasi (2): Lost!

*Melanjutkan tulisan Pendakian Sindoro dan Evaporasi, Evapotranspirasi (1). Maap baru sekarang sempet ngelanjutin*

Gunung Sindoro mempunyai beberapa puncak bayangan. Puncak yang kalau dari bawah kita kira puncak, setelah didatangi ternyata bukan puncak gunung sebenarnya. Bahkan kita akan melihat puncak lain yang ternyata masih jauuhh. Awalnya saya dan teman saya cuman terpisah beberapa meter. Terkadang saling teriak wooooiii”. Oh…orangnya masih ada. O, iya pas kami mendaki itu tidak ada orang lain yang juga mendaki. Baru ketika turun banyak pendaki yg mulai naik. Di tengah jalan saya bertemu 3 orang pendaki yang turun, salah satunya bule. Seorang pemandu, dan satu orang porter. Seperti biasa, ketika ketemu sesama pendaki akan berhenti sebentar buat saling bertanya.

“Dari mana? Berapa orang? ” —> Pertanyaan standard.

“Dari Jogja. Dua orang”, jawabku.

“O…sama yang tadi ya? Temennya sekarang udah nyampe watu tatah. Tadi pesen kalo ketemu temennya, katanya ditunggu di puncak”

Ok. Thanks infonya. Cuman bentar ngobrolnya.

Jalur pendakian adalah jalan air di waktu hujan. Kecil, sempit dan penuh batuan. Semakin naik semakin terjal dan curam. Terkadang ada persimpangan jalan. Sesekali angin lembah berhembus membawa uap air naik dan semua terlihat putih. Wah kalo dari jauh pasti kelihatannya ada diantara awan :P.

Tanjakan di Lereng Sindoro

Tanjakan di Lereng Sindoro

Tetapi lama kelamaan ketika saya berteriak mencari teman saya kok nggak ada jawaban ya?! Sudah teriak berkali-kali tapi tetep aja nggak ada jawaban. Jarak kami pasti sudah jauh sekarang. Atau saya tersesat?? HAH??…OMG…

Ya tadi memang ada persimpangan. Apa saya salah pilih jalan ya?? Berbagai analisa ada di kepala. Wah nggak kebayang deh rasanya. Ada di ketinggian 3000 m dpal…dan SENDIRIAN!!. Di handphone nggak ada sinyal. GPS juga nggak bisa. Waduh gimana nich?

Waktu itu ada 2 pilihan, mau turun atau lanjut naik. Jarak turun jauh. Naik juga jauh. Tetapi saya teringat kata-kata pendaki yang sama bule tadi “ditunggu temannya di puncak”. Gimana kalo temen saya nunggu saya di puncak dan saya malah turun ke bawah? Oke, saya pegang ucapannya. Karena kata-kata seorang muslim, (seharusnya) adalah benar dan bisa dipercaya. Saya akhirnya naik, lagian nanggung juga, wong udah nyampe sejauh ini.

Ketika saya naik, rasanya kok jalan yang saya tempuh menuju ke barat ya? Saya hanya khawatir tersesat. Waktu itu di sekitar jalur pendakian adalah padang sabana yang luas. Sempat terpikir untuk memotong jalur dengan melewati rumput2 kering yg roboh itu. Baru beberapa meter langsung saya urungkan. Menginjak rumput? hohoho….siapa yang tahu kalo dalamnya ada lubang atau tidak? Adalah lebih baik tidak usah membuat kreativitas dan inovasi disini, hehehe… Yah akhirnya saya kembali menyusuri batu batuan yang terjal itu.

Hiburan menuju puncak adalah tanaman edelweis. Sayangnya lagi nggak berbunga. Edelweis adalah tanaman perintis yang hanya bisa ditemui di sekitar puncak gunung. Bagi saya tanaman edelweis ini terasa istimewa karena untuk sekedar bisa melihatnya saja kita harus melalui pendakian yang melelahkan.

Yang bikin sedikit frustrasi di Sindoro adalah puncak bayangannya yang banyak. Dan saat melihat jalan yang harus dilalui, rasanya kok masih jauuh. Tapi jalani aja, selangkah demi selangkah. Saat letih, berhenti. Berdoa, mohon kekuatan dari-Nya. Menjelang puncak ada beberapa petunjuk jalan *ada anak panah menunjuk puncak sindoro* Uhuiiiii……sbentar lagi nyampe 😀

Akhirnya sampe juga di puncaknya. Rasanya takjub. Subhanallah. Langsung sujud syukur…..Alhamdulillahi Rabb. Lalu saya menuju bibir kawah mati dan teriak, nyari temanku tadi.

wooooiiii“, ada suara balasan. Double lega deh, haha… Alhamdulillah…..

Temenku ada di dasar kawah, dan kalo kami ngobrol terdengar gema dan gaung yang bersahut-sahutan. Lucu rasanya.

Kawah Mati Sindoro

Kawah Mati Sindoro

Selepas sholat dzuhur di puncak, kami turun. Hujan sempat turun, tapi kami lanjut jalan. Sore kami sampai di pos 3. Berkemas-kemas lalu balik menuju base camp.

Refleksi:

Naik Gunung itu……bukan hanya sekedar perjalanan raga, tetapi adalah perjalanan jiwa. Bukan semata-mata soal fisik, tetapi adalah soal mental. Banyak orang bertanya mengapa orang suka berpetualang naik gunung? Itu pertanyaan yang sulit dijawab dengan kata-kata, karena maknanya yang sangat luas. Yah…because it’s there. Karena kata terkadang malah mereduksi makna.

Memikirkan puncak gunung tidak akan membuatmu sampai di puncaknya. Tetapi berjalan selangkah demi selangkah yang akan membawa kita sampai di puncaknya. Begitu halnya jika kita mengejar cita-cita kita. Melangkahlah. Karena langkah-langkah kecil itu yang akan membawa kita ke tujuan.

Gunung Sindoro memang hanya berketinggian 3.153 m dpal. Tetapi jangan lupa: kalau kita berhasil sampai berdiri di puncaknya, semua itu sama sekali bukan karena kehebatan kita…tetapi karena rahmat & kuasa serta rezeki dari-Nya.

~ oleh honeysweet pada 16 September 2011.

3 Tanggapan to “Pendakian Sindoro dan Evaporasi, Evapotranspirasi (2): Lost!”

  1. […] Pendakian Sindoro dan Evaporasi, Evapotranspirasi (2): Lost! « Home Sweet Home dibahas juga di dalam 16 September 2011 pada 3:06 am | Balas […]

  2. Sy sngt salut pd para pendaki G.Sindoro.Sdngkan sy sendiri yg tinggal di kaki G.Sindoro sj blm pernah.Bayangan utk mendaki ke puncaknya cm ada di angan2….Ingin sekali melihat langsung bgmn indahnya bunga Edelwais yg tumbuh disana.Ah…sekali lg itu cm di angan2.Menyadari usiaku yg sdh setengah abad tdk memungkinkan lg utk melakukan itu.Keinginanku pupuslah sdh.Tp tk mengapa,krn ank2kulah yg mencapainya….Yg tak kalah penting,sy ttp bisa menikmati indahnya bunga Edelwais G.Sindoro yg kudapati dr anak2ku….

    • Seminggu yll saya mendaki bromo, saya ketemu pasangan bule dari perancis yang sudah sepuh. walaupun sudah berusia lanjut mereka sangat bersemangat. Ayoo bu, Insya allah dimana ada kemauan, disitu ada jalan 😀

Tinggalkan komentar